Catatan *Kang As* (6)_
*MENGGALI PERMATA TERPENDAM*
Enam bulan sesudah Rasulullah SAW wafat, Fathimah Az Zahra putrinya, menyusul ke alam baka. Tiada yang tidak berduka. Terutama suaminya, Ali bin Abi Thalib.
Bersama para sahabat lainnya, Ali mengantar jenazah Fathimah hingga ke pemakaman. Abu Dzar Al Ghifari, seorang sahabat yang sangat dekat dengan keluarga Rasulullah, karena sedihnya berdiri lama di depan kuburan yang telah siap digali. Dengan bibir gemetar Abu Dzar menggumam sendirian,
يَا قَبْرُ أَتَدْرِيْ مَنِ الَّتِيْ حِئْنَا بِهَا إِلَيْكَ هِيَ فَاطِمَةُ الزَّهْرَآءِ بِنْتُ مُحَمَّدٍ وَزَوْجَةُ عَلِيِّ الْمُرْتَضىٰ وَأُمُّ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ
_Yaa qabru atadrii manil latii ji’naa bihaa ilaika hiya faathimatuz zahraa-u bintu muhammadin wa zaujatu ‘aliyyil murtadhaa wa ummul hasani wal husaini_
_*“Hai kubur. Tahukah kamu siapa yang kami antarkan ke dalam lubukmu hari ini? Ia adalah Fathimah Az Zahra, putri Rasulullah, istri Ali Al Murtadla, dan ibunda kedua cucu Nabi, Hasan dan Husain.”*_
Sekonyong-konyong bergema suara ghaib dari dalam kubur. Suara itu tidak menembus lewat telinga para pelawat, melainkan langsung menyelusup ke dalam jiwa. Suara itu berkata :
مَا أَنَا مَوْضِعُ الْحَسَبِ إِنَّمَا أَنَا مَوْضِعُ عَمَلِ الصَّالِحِ لَا يَنْجُوْ مِنِّيْ إِلَّا مَنْ كَثُرَ خَيْرُهُ وَسَلِمَ قَلْبُهُ وَخَلِصَ عَمَلُهُ
_maa ana maudhi’ul hasabi innamaa ana maudhi’ul ‘amalish shaalohi laa yanjuu minnii illaa man katsura khairuhu wa salima qalbuhu wa khalisha ‘amaluhu_
_*“Aku bukanlah tempat untuk membangga-banggakan pangkat atau keturunan. Sesungguhnya aku hanyalah tempat untuk menyimpan amal shalih. Takkan selamat dari terkaman siksaku kecuali orang yang banyak kebajikannya yang bersih hatinya, dan yang ikhlas semua perbuatannya.”*_
Namun betapa banyaknya manusia yang tertipu oleh harapan-harapan semu. Kepercayaan bahwa dirinya sudah bersih membuat seseorang lalai terhadap makna kebajikan. Adalah keliru bila menyangka bahwa kebajikan akan mengantarkan manusia ke dalam surga. Sebab amal shalih tidak berarti perbuatan baik saja, tapi juga harus diimbangi hati yang bersih dari segala penyakit, terutama _*hasud* (dengki)_ dan _*riya* (pamrih)_. Dengan demikian akan lahirlah keikhlasan tuntas dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik. Itulah _*natijah*_ yang tersaring dari peristiwa meninggalnya Fathimah binti Rasulillah.
Terdapat empat golongan manusia yang tertipu dirinya sendiri.
_Pertama, *Ahli Ilmu*_, yaitu yang hanya berkutat dengan ilmu lahir dan akal saja sampai melupakan ilmu bathin. Julukan Sang Alim disangka telah membawanya ke singgasana paling tinggi di antara makhluk lainnya. Padahal ia hanya mendalami ilmu Mu’amalah, pengetahuan tentang halal dan haram, baik dan buruk, dengan berbagai kerumitan cabang dan ranting-rantingnya untuk mencapai kasimpulan remeh belaka : _*sah*_ dan _*batal*_. Ia mengabaikan ilmu Ma’rifat yang justru merupakan kunci untuk membuka pintu Allah, tujuan dan sumber semua ilmu, yakni ilmu untuk mengenal Tuhan lewat amalan-amalan yang bukan cuma dipelajari tetapi dilaksanakan. Seperti diperingatkan oleh Nabi SAW,
مَنِ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى لَمْ يَزْدَدْ مِنَ ﷲِ إِلَّا بُعْدًا
_manizdaada ‘ilman wa lam yazdad hudan lam yazdad minallaahi illaa bu’dan_
_*“Barangsiapa bertambah ilmunya namun tidak bertambah makrifatnya maka hakekatnya tidak ada yang bertambah kecuali makin jauh dari Allah.”*_
Sungguh tidak berakhlak seseorang yang mencari ilmu hanya untuk menjadi alim dan mengungguli yang lainnya. Sabda Rasulullah yang keras dapat kita jumpai dalam kitab _*Minhaajul ‘Aabidiin* (Jalan Para Ahli Ibadah)_ karya Imam Al Ghazali.
مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُفَاخِرَ الْعُلَمَآءُ أَوْ لِيُمَارِيْ بِهِ السُّفَهَآءُ أَوْ لِيَصْرِفَ وُجُوْهَا النَّاسِ إِلَيْهِ اَدْخَلَ النَّارَ
_man thalabal ‘ilma li yufaakhiral ‘ulamaa aw li yumaarii bihis sufahaa-u aw li yashrifa wujuuhan naasi ilaihi adkhalan naara_
_*“Siapa yang menuntut ilmu dengan maksud hendak bersaing dengan para Ulama atau buat berdebat mengalahkan orang-orang bodoh dan supaya perhatian masyarakat tertumpu kepadanya, hal itu malah akan menjerumuskannya ke dalam neraka.”*_
_Kedua, *ahli ibadah*_. Ia tertipu jika karena mengejar sah secara Syara’ sampai melalaikan kebeningan niat. Karena menuntut fadhilah amal dan perkara-perkara sunnah sampai berlarut-larut di dalam pertentangan dan perselisihan.
Rasulullah mengingatkan, seperti kita dapati dalam salah satu hadits riwayat Bukhari dan Muslim :
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلْ
_maa dhalla qaumun ba’da hudan kaanu ‘alaihi illaa uutul jadal_
_*“Tidaklah tersesat suatu kaum sesudah memperoleh hidayah kecuali jika mereka mulai sibuk dengan saling berdebat.”*_
Kata beliau pula bahwa ummat Islam akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semua masuk neraka. Cuma satu yang berhak menjadi penghuni surga, yakni _Ahlussunnah wal Jama’ah._
_*Pengertiannya tidak dimaksudkan satu kelompok saja yang benar. Melainkan bahwa semuanya tersesat kecuali mereka bersiteguh dalam pendirian masing-masing atas keyakinan sunnah semata-mata, namun dalam saling berbeda itu mereka tetap memelihara yang wajib yaitu al jama’ah, persatuan. Bila perkara terpokok ini, al jama’ah dijaga, maka hakekatnya yang tujuh puluh tiga golongan itu hanya satu, berhak masuk surga seluruhnya.*_
_Ketiga, *para penganut tasawuf*_ yang menyangka bahwa mereka kaum terpilih, bahwa mereka saja yang mengenal Allah sebab konon sudah menguasai ilmu ma’rifat. Mereka tidak mau membuka mata kepada para ahli agama lainnya, seakan-akan diluar mereka cuma binatang melata yang terbata-bata tidak tahu jalan. Mereka menganggap sia-sia ibadah golongan lain, termasuk ibadah ahli fiqh dan ahli tafsir. Mereka menghabiskan seluruh waktunya hanya untuk mulazamah, bergaul dengan Tuhan lewat wirid, dzikir dan suluk-suluk. Tasawuf tidak lagi murni sebagai upaya membersihkan hati menuju Tuhan. Tasawuf telah berubah menjadi martabat _*khawasul khawash* (khusus dari yang khusus)_ di depan masyarakat manusia. Tasawuf cuma sekedar baju dan bukan kalbu. Itulah golongan yang juga tertipu diri sendiri.
_Keempat_, adalah _*golongan kaum awam*_, baik hartawannya maupun fakir miskinnya. Karena tertipu jika kaum hartawan gemar bersedekah asalkan diketahui orang banyak. Mereka hanya memberi kepada fakir miskin yang suka menyebar luaskan kedermawanannya. Mereka ulang-alik naik haji tanpa menghiraukan kesengsaraan tetangga disekitarnya.
Ibnu Mas’ud mengatakan, _*(“Kelak di akhir zaman akan banyak orang pergi haji dengan gampang lantaran kemurahan rizki yang diterimanya. Tetapi sekembali dari haji mereka hampa dari pahala. Sebab para tetangga yang berdempetan rumah dengannya dan sedang ditimpa kesusahan, ditanya pun tidak olehnya, apalagi diperhatikan nasibnya.”*_
Adapun fakir miskin tertipu apabila menduga hanya dengan menghadiri majlis dzikir ia sudah memenuhi kewajibannya tanpa ikhtiar untuk memperbaiki peruntungannya. Bahwa dengan pasrah kepada nasib ia sudah mencapai kesempurnaan hidup. Bahwa mendatangi majlis ilmu adalah kebaikan yang tuntas, dan tidak menganggap menuntut ilmu hanya jalan untuk memperoleh kebenaran amal. Kalaupun mendatangi majlis ilmu sudah boleh dianggap sebagai amal, maka amal yang semacam ini belum bisa membuka jalan menuju surga.
Para penganut tasawuf yang mukhlis senantiasa berpegangan kepada hadits Nabi SAW pada waktu di hadapan para sahabatnya beliau bersabda,
لَنْ يَدْخُلَ أَحَدَكُمُ الْجَنَّةَ بِعَمَلِهِ
_lan yadkhula ahadakumul jannata bi ‘amalihi_
_*“Seseorang takkan masuk surga karena amalnya semata-mata.”*_
Salah satu sahabat bertanya :
وَلَآ أَنْتَ يَا رَسُوْلَﷲِ ؟
_wa laa anta yaa rasulallaahi?_
_*“Tidak pula engkau ya Rasulullah?”*_
Beliau menjawab :
وَلَآ أَنَا إِلَّا أَنْ يَتَغَمَدَنِيَ ﷲُ بِرَحْمَتِهِ
_wa laa anaa illaa an yataghaamada niyallaahu birahmatihi_
_*“Tidak juga aku. Kecuali jika Allah mengurniai aku dengan rahmat-Nya.”*_
Sarana menuju ke surga adalah lewat amal shalih. Dengan itu akan mengundang ampunan Allah. Dari ampunan Allah terkuaklah tirai penghalang yang kemudian memberi jalan bagi turunnya pahala berlimpah. Dan pahala atau al ajru yang terbesar nilainya ialah rahmat Allah. Inilah jenjang yang mengantarkan seorang pengabdi Tuhan untuk tiba di hadirat-Nya, Jannatun Na’im, Surga yang sarat dengan kenikmatan.
Karena itu Tuhan menyediakan bagi manusia dan segenap makhluk ciptaan-Nya sifat Rahman dan Rahim. Rahman adalah lahan rahmat dari Yang Maha Pengasih untuk melengkapi kenikmatan duniawi buat seluruh hamba-Nya agar mereka dapat menempuh kehidupan sejahtera di dunia. Sedangkan Rahim ialah sumber rahmat dari Yang Maha Penyayang untuk hamba-hamba-Nya yang beriman saja sebagai limpahan kurnia agar mereka dapat memperoleh kebahagian Akhirat dengan segala kenikmatannya.
Sudah pasti tasawuf murni yang mengajak para pengikutnya untuk merasakan kelezatan dalam beribadah, keikhlasan dalam beramal shalih, kebeningan di dalam hati, dan ketauhidan dalam beriman adalah permata hakiki yang dapat dimiliki oleh siapa pun yang menghendaki.
********************
Tidak ada komentar:
Posting Komentar